TARI UJUNGAN, Tradisi Mujung untuk memohon turun hujan
BANJARNEGARA - INFRANEWS : Ujungan merupakan kisah nyata yang
terjadi sekitar Tahun 1830 an yang menjadi sebuah budaya atau
tradisi masyarakat Desa Gumelem Wetan , budaya ini tumbuh bermula pada
masa dimana Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan masih merupakan
padukuhan Karang Tiris ( nama sebelum Gumelem ). Masyarakat di padukuhan
ini , dalam hal untuk menopang kehidupanya , benar-bear hanya mengandalkan
hasil sawah dan ladangnya . Sementara sistem pengairan yang baik dan teratur
atau irigasi belum ada, sehingga untuk dapat mengairi lahan sawahnya dengan
cara bergilir. Dimasa kademangan, musim kemarau yang sangat panjang pernah
melanda, cara untuk mengairi lahan sawah dengan cara bergilir sudah tidak
lagi dihormati petani.
Akhirnya untuk mendapatkan air para petani
saling berebut untuk menyelematkan tanamanya agar tidak mengalami gagal panen.
Pada saat itu diketahui pada hari
Jum’at Kliwon di sebuah Sumber Air ada dua orang petani
bersitegang berebut air untuk memenuhi kebutuhkan hidupnya ,
khususnya untuk keperluan mengairi lahan sawahnya , mereka saling memukul , dan
akhirnya saling “sabet” dengan sebilah batang Kayu Raside . Peristiwa yang
cukup lama menyebabkan tubuh kedua petani itu mengalami luka – luka dan
banyak mengucurkan darah, tidak selang lama kemudian turunlah hujan dan
ternyata hujan turun sangat lebat.
Kedua Petani itu tersadarkan diri akibat
perbuatan yang dilakukanya ,seketika itu pulalah mereka saling meminta maaf dan
Memanjatkan Rasa Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan karunia berupa hujan sehingga tanaman dapat tumbuh subur kembali dan
lahan sawah beserta ladang petani dapat diolah untuk mendapatkan hasil
guna menopang kehidupanya.
Peristiwa “ saling sabet “ antara kedua
petani, oleh seorang Tokoh Padukuhan Karang Tiris ( selanjutnya menjadi Demang
Gumelem ), beserta para petani lainya, akhirnya dijadikan suatu
peringatan atau momentum atau simbol yang selalu dikenang yang akhirnya hingga
sekarang menjadi sebuah tradisi atau Acara Adat Ujungan,dan juga
selalu digunakan sebagai budaya dan sarana untuk “MUJUNG”
atau memohon datangnya hujan kepada Yang Kuasa apabila terjadi musim
kemarau yang sangat panjang.
Dalam perkembanganya , Ujungan yang
selalu digunakan sebagai sarana untuk memohon turunya hujan selau digelar
pada mangso kapat (keempat) dan kamo (kelima) di musim kemarau Selanjutnya
telah dilakukan berbagai macam perubahan dengan tidak meninggalkan unsur
“sakral”nya , diantaranya adalah , tubuh pemain harus benar-benar sehat , dan
dalam hal bagian tubuh yang disabet, sekarang hanya terbatas dari bagian lutut
hingga telapak kaki, pelakunya pun dilengkapi dengan berbagai pelindung
termasuk pelindung kepala yang dihias dengan berbagai ornamen , demikian juga
alat pemukulnya pun telah menggunakan rotan sepanjang lengan orang dewasa
dan telah dikemas dalam sebuah seni. dimana kedua orang pemainnya termasuk
Wlandang ( wasit ) harus melakukan gerak tari dengan
diiringi irama gamelan yang sangat sederhana. Gerak tari yang ditampilkan
adalah gerak tari yang menunjukan atau melambangkan kekuatan tubuhnya dan
kelincahan menghindar dari “sabet”an lawan.
Walaupun dalam pertunjukanya adalah bentuk
perlawanan atau bentuk adu kekuatan , namun setelah pertunjukan usai, para
pemain tidak ada unsur dendam atau sejenisnya, rasa kekeluargaan dan
sportivitasnya tetap terjaga dengan baik.(jinggo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar