Minggu, 07 Oktober 2012

Tari Ujungan Gumelem Weta

TARI UJUNGAN, Tradisi Mujung untuk memohon turun hujan

 BANJARNEGARA - INFRANEWS : Ujungan merupakan kisah nyata yang  terjadi sekitar Tahun 1830 an  yang menjadi sebuah budaya atau tradisi masyarakat Desa Gumelem Wetan  , budaya ini tumbuh bermula pada masa dimana Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan masih merupakan  padukuhan Karang Tiris ( nama sebelum Gumelem ). Masyarakat  di padukuhan ini , dalam hal untuk menopang kehidupanya , benar-bear hanya mengandalkan hasil sawah dan ladangnya . Sementara sistem pengairan yang baik dan teratur atau irigasi belum ada, sehingga untuk dapat mengairi lahan sawahnya dengan cara bergilir. Dimasa kademangan, musim kemarau yang sangat panjang pernah melanda, cara untuk mengairi lahan sawah  dengan cara bergilir sudah tidak  lagi dihormati petani.
 Akhirnya untuk mendapatkan air para petani saling berebut untuk menyelematkan tanamanya agar tidak mengalami gagal panen.
 Pada saat itu diketahui pada  hari Jum’at Kliwon  di sebuah Sumber  Air ada dua orang petani   bersitegang berebut air untuk memenuhi kebutuhkan hidupnya , khususnya untuk keperluan mengairi lahan sawahnya , mereka saling memukul , dan akhirnya saling “sabet” dengan sebilah batang Kayu Raside . Peristiwa yang cukup lama menyebabkan tubuh kedua petani itu  mengalami luka – luka dan banyak mengucurkan darah, tidak selang lama kemudian turunlah hujan dan ternyata hujan turun sangat lebat.
Kedua Petani itu tersadarkan diri akibat perbuatan yang dilakukanya ,seketika itu pulalah mereka saling meminta maaf dan Memanjatkan Rasa  Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia berupa hujan sehingga tanaman dapat tumbuh subur kembali dan lahan sawah beserta  ladang petani dapat diolah untuk mendapatkan hasil guna menopang kehidupanya.
 Peristiwa “ saling sabet “ antara kedua petani, oleh seorang Tokoh Padukuhan Karang Tiris ( selanjutnya menjadi Demang Gumelem ), beserta para petani lainya,  akhirnya dijadikan suatu peringatan atau momentum atau simbol yang selalu dikenang yang akhirnya hingga sekarang menjadi sebuah tradisi atau Acara Adat Ujungan,dan juga  selalu  digunakan sebagai budaya dan sarana untuk  “MUJUNG” atau  memohon datangnya hujan kepada Yang Kuasa apabila terjadi musim kemarau yang sangat panjang.
 Dalam perkembanganya , Ujungan yang  selalu digunakan sebagai sarana untuk  memohon turunya hujan selau digelar pada mangso kapat (keempat) dan kamo (kelima) di musim kemarau Selanjutnya telah dilakukan berbagai macam perubahan dengan tidak  meninggalkan unsur “sakral”nya , diantaranya adalah , tubuh pemain harus benar-benar sehat , dan dalam hal bagian tubuh yang disabet, sekarang hanya terbatas dari bagian  lutut hingga telapak kaki, pelakunya pun dilengkapi dengan berbagai pelindung termasuk pelindung kepala yang dihias dengan berbagai ornamen , demikian juga alat pemukulnya pun telah  menggunakan rotan sepanjang lengan orang dewasa dan telah dikemas dalam sebuah seni. dimana kedua orang pemainnya termasuk Wlandang ( wasit ) harus   melakukan gerak tari  dengan  diiringi irama gamelan yang sangat sederhana. Gerak tari yang ditampilkan adalah gerak tari yang menunjukan atau melambangkan kekuatan tubuhnya dan kelincahan menghindar dari “sabet”an lawan.
Walaupun dalam pertunjukanya adalah bentuk perlawanan atau bentuk adu kekuatan , namun setelah pertunjukan usai, para pemain tidak ada unsur dendam atau sejenisnya, rasa kekeluargaan dan sportivitasnya tetap terjaga dengan baik.(jinggo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar